Jengkal Tangan

Ikusanmidasai
2 min readMar 10, 2023

--

Selepas kerja, aku selalu menghabiskan sore dengan berdiam diri di taman yang berjarak tidak jauh dari kantor. Sebelum pergi menemui kesendirian, aku memesan kopi di salah satu toko yang berada tepat di sebelah kantor.

Langkah demi langkah aku melaju menuju salah satu gazebo yang berada di taman langgananku, bersama tas yang ku gantung di pundak kiri, dan gelas plastik yang ku genggam di tangan kanan. Aku hinggap di kursi yang berada di salah satu titik yang sepi, tanpa manusia lain.

Aku menatap danau, mendengar suara gesekan daun, dan mencium aroma hujan yang baru saja turun menemui tanah. Aku meneguk kopi, pandangku terhalang oleh gelas plastik, dan saat aku turunkan gelasnya, aku melihat seorang pria dengan ransel diatas kepalanya, dia berlari memasuki kedamaianku.

Sesampainya, dia duduk di kursi lain yang posisinya berlawanan arah denganku, dengan kondisi basah kuyup, kemejanya lusuh dialiri air, sepatunya kumuh diselimuti lumpur, dan muka yang kusut. Aku tidak tahu alasan mengapa dia datang kesini, entah karena ingin atau sekedar untuk berlindung dari jengkelnya langit.

Mata kita bertemu satu sama lain, dia membuang muka ke arah atap, dan aku membuang muka ke arah sepatu, tapi kita tak mampu membuang suasana canggung yang sudah terbentuk. Mulutnya terbuka secara perlahan, seperti ingin mengeluarkan sesuatu, tenggorokannya seolah tersedak oleh keheningan ini.

“Hai” ucapnya

“Emm hai” balasku

Photo by Pawel Czerwinski on Unsplash

Dia berjalan tegas ke arahku, sembari menjulurkan tangannya, dia mengucapkan namanya dengan cukup lantang, Mahesa.

Aruna, ucapku, sambil menyambut tangannya yang dingin itu.

Tangan pun kembali kepada pemiliknya masing-masing, dan dia sekarang duduk sejajar denganku, aku mencoba untuk menebak jarak diantara kita, tiga jengkal fikirku.

“Kok kamu kering sih?” ucapnya

“Kebetulan tadi aku datang sebelum hujan turun” ucapku

“Oh, beruntung dong” balasnya sambil memeras bagian bawah pakaiannya.

“Beruntung karena dapat berkenalan denganmu” gumam isi kepalaku.

Ratapan langit sore ini mungkin membawakan keluhan baginya — namun senyuman bagiku.

Dia bersandar pada pagar kayu dengan posisi terbuka, mencoba untuk menerima suasana sekitar, dan meredam rasa gusar terhadap cuaca.

Aku menempelkan kedua tanganku pada ruang kosong bagian kursi diantara tubuh kita, namun dugaanku ternyata salah, kita berjarak dua jengkal. Dia menyeringai sedikit, keheranan terhadap hal serampangan yang baru saja aku lakukan.

Kita berbincang sampai matahari mulai lenyap, banyak hal yang kita bicarakan, mulai dari keluh kesah di kantor sampai suka cita masa kuliah, kita tidak bertukar apapun selain nama, topik, dan tatap.

Dia pulang dengan mengantongi sepasang sepatu, berjalan menjauh dengan kaki telanjang, menuju trotoar jalan yang mulai ramai dengan kendaraan roda dua.

Aku pulang dengan mengantongi sebuah harap, bahwa suatu hari nanti kita akan bertemu lagi, ditempat ini, bersama hawa ini, dengan jarak satu jengkal tangan diantara.

--

--